Selasa, 05 Juni 2012

INDUSTRIALISASI – LAHAN PERTANIAN MENURUN


Kusempatkan untuk ke kota Demak beberapa hari yang lalu karena ada sesuatu yang penting. Memang, semenjak lulus dari ex. SMA tercinta aku memang jarang sekali ke  kota wali tersebut. Disanalah tempat ku menimba ilmu selama 3 tahun.
                Aku selalu diantar dengan bus antar-kota yang setia menemaniku dalam setiap hari-hariku. Tak peduli dapat tempat duduk atau tidak, desak-desakan atau longgar, macet atau lancar aku ikhlas dan menikmati hari-hariku dalam menuntut ilmu. Di perjalanan mataku dimanjakan dengan pemandangan nan hijau..Pohon-pohon yang rindang di pinggir jalan, sawah yang saling berbaris, dan obrolan kecil dengan teman-teman membuat perjalanan yang lumayan lama menjadi sebentar.
Kini, kulihat perbedaan di sepanjang jalan. Banyak dibangun pabrik di sekitar sawah. Mungkin dari segi ekonomi pembangunan pabrik tersebut dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar dan menambah pendapatan mereka. Namun, di sisi lain, dengan industrialisasi tersebut mengakibatkan area persawahan menjadi makin berkurang, belum lagi pabrik yang dikeluarkan oleh pabrik tersebut yang dapat mencemari lingkungan sekitar. Bahkan di dekat desa ku, terdapat limbah pabrik yang menimbulkan bau menyengat dan mencemari lingkungan sekitar. Selain itu sawah-sawah yang dulu terbentang luas,kini tlah menjadi tambak karena terkena air asin dari laut sehingga makin berkuranglah lahan pertanian di daerahku. Negara kita yang agricultural, sampai saat ini masih mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Ya,,, ini pastinya salah satu  penyebab dari berkurangnya lahan pertanian di Negara kita. Aku miris melihatnya…
Aku salut dengan orang luar negeri yang fanatik dengan green product. Ya… walaupun dari sisi kualitas dua produk sama, namun yang satu green product, yang lain tidak mereka tetap memilih untuk membeli green product walaupun dari sisi harga lebih mahal.
Bagi pihak pengelola pabrik, sebelum membuang limbah hendaklah dilakukan sanitasi terlebih dahulu agar tak terlalu mencemari lingkungan sekitar dan merugikan masyarakat sekitar. Untuk saat ini aku hanya bisa menyalurkan pendapat lewat tulisan ini. Semoga kita bisa menjadi konsumen yang bijak sebelum membeli produk.
Kalau menilik orang-orang jepang, mereka bisa menanam padi di kantor dengan lahan air dan penyinaran lampu. Mungkin saat ini Negara kita perlu meningkatkan cara untuk menanam padi di segala media seperti Jepang dengan lahan yang sangat terbatas. Semoga Negara kita bisa menerapka teknologi pertanian seperti jepang dengan lahan yang terbatas namun tetap bisa bercocok tanam di segala media.

Jangan didebatkan, Aturan sudah jelas


Terdengar suara bising dari bilik rumah… kulihat beberapa orang yang sedang mempermasalahkan jalan yang sedang dibangun. Memang tanah dimana jalan tersebut dibangun merupakan bukan hak milik orang tersebut, akan tetapi mereka masih saudara.
Fenomena zaman sekarang memang menjadi sesuatu yang wajar, apalagi memperebutkan harta gono-gini di tengah keluarga yang sedang berselisih. Sempat terpikir olehku mengapa orang-orang suka menghabiskan waktu untuk memperebutkan harta warisan, toh di dalam ajaran Islam sudah jelas pembagian hak waris yang itu sudah ada takarannya masing-masing pihak.
Seorang anak dalam sebuah keluarga pun ada yang mengaku tidak tahan di rumah karena hampir tiap hari sibuk dan ramai mempersoalkan pembagian harta . Dia juga merasa tenang dan nyaman jika berada di tengah-tengah keluarga tetangga  yang sangat sederhana.
“kesederhanaan adalah kunci kebahagiaan”
Mungkin saat ini banyak orang yang dibutakan dengan harta. Harta memang penting (menurutku), namun jangan sampai kita diperbudak oleh harta yang kita miliki. Bukankah itu semua hanya titipan dari-Nya???? Semoga kita bisa introspeksi diri dalam menyikapi ini semua. Termasuk yang nulis ini. hehehe

Senin, 28 Mei 2012

Moment wisuda



Moment wisuda bersama u5...

keponakanku yang pintar dan mandiri




Arum Zahrotul ilmi, itulah nama keponakanku yang saat ini berumur 2,5 tahun. Foto ini diambil ketika dia masih berumur 1,3 tahun. Umur memang masih kecil tapi badannya seperti anak TK. Baru 2,5 tahun aja sudah segede anak TK. Dia tipe anak yang mudah untuk dikasih tau dan mandiri. Buktinya dede begitu aku memanggilnya, sudah  cas cis cus kalau bercerita dan tiap pagi berangkat sekolah PAUD ga mau di antar, maunya berangkat sendiri naik sepeda.
hmmmmm keponakanku smart. miss u dede.... :*

ROB YANG MASIH SETIA


Sejak lahir hingga sekarang aku tinggal di pesisir pantai, tepatnya dekat pantai morosari. Walaupun aku orang pesisir, entah kenapa orang-orang yang baru kenal menyebut aku orang gunung. (jadi bingung) it’s okey dech apa kata orang-orang.
“ Hijau nan asri” begitulah aku menyebut desaku. Rumahku memang di desa, walaupun di desa jangan salah lho banyak tanaman dan area persawahan yang membentang luas, di akhiri dengan pantai yang indah….. aku bersyukur tinggal di desaku. Selain udara masih fresh, rumahku dekat dengan pemerintaha desa, so ga perlu jauh-jauh untuk ngurus KTP ke balai desa, belanja keperluan sehari-hari ke  pasar, ngurus Kartu Keluarga ke kecamatan, menuntut ilmu ke sekolah, ngurus SKCK ke kantor polisi, bahkan ngurus pernikahan ke KUA pun juga dekat. (masih single, so enjoy lah…KUA dekat). #ga’ nyambung. J
Mungkin dulu memang masih pantas kalau aku bilang desaku yang hijau nan asri. Namun, sekarang rasanya tidak pas lagi jika aku menyebut seperti itu. Desa yang hijau kini menjadi desa yang tak lepas dari air pasang tiap hari ( red: rob ). Fenomena air pasang di desaku memang sudah 2 tahun terakhir. 2 tahun yang lalu air pasang memang sudah menghantui desaku, walaupun air tak sampai dekat rumahku karena tanah rumahku lebih tinggi dari tanah-tanah tetanggaku. Kalau tetangga pada ramai dengan air pasang yang sudah di halaman rumah mereka, aku pun bersyukur karena air tersebut baru nyampai di belakang rumah ku yang lumayan jauh, karena belakang rumahku ada kebun pisang, so masih bisa menahan air pasang.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun silih berganti, air pasang makin naik aja. Terbukti jika 2tahun yang lalu hanya di belakang jauh dari rumah, namun setahun yang lalu air pasang atau yang lebih dikenal rob sudah mendekati rumah. Tak jarang pula telinga ini mendengar keluhan para tetangga akan rob tersebut. Bahkan ku dengar pula, desa yang lebih dekat dengan pantai mayoritas warganya sudah mengungsi ke daerah lain. Disinyalir tidak tahan dengan rob yang makin hari makin naik. Desa sebelah juga tak jarang yang membendung rumah mereka dari genangan rob.
Kalian tahu apa yang terjadi saat ini?????? Rob sudah dekat sakali dengan rumahku, kebun pisang teduh pun kini telah mati dan tak tersisa menjadi tanah yang tak terpakai. Bahkan jika rob datang dan tinggi, belakang rumah bagai danau yang siap untuk dipancing ikannya. Tuhan… aku tau tiap tahun volume air laut makin tinggi karena global warming dan es di kutub yang mencair. Entah seperti apa desaku tahun depan. Desa yang dulu hijau nan asri, sawah yang terbentang luas dan segar kini menjadi tambak yang membentang di garis horizontal. Di jalan memang masih hijau dan banyak tanaman, namun di belakang…. Tambak yang senantiasa memanjakan mata kita. Sedih sudah pasti, namun apalah daya… rumah-rumah warga yang tak direnovasi, terpaksa ikhlas menerima air rob yang tiap hari masuk ke dalam rumahnya, jalan antar rumah pun juga ga’ mau kalah… tetap dijamah dengan rob sehingga warga harus rela berjalan di air untuk melakukan aktivitas. Belum lagi nyamuk yang disebabkan karena fenomena rob… nyamuk makin banyak, semut pun juga tak mau kalah dengan populasi nyamuk.
Meskipun rob yang hampir tiap hari, aku tetap bersyukur karena rob di tempatku masih jernih jika dibanding desa tetangga yang hitam, bau, dan kotor bercampur sampah, minyak,dll. Fenomena seperti ini memang sudah memenuhi otakku jauh sebelum rob di tempatku, dan aku berusaha mencari cara menanggulangi jika rob menghampiri. Itulah PR ku sejak dulu yang hanya tersimpan dalam kepalaku. Aku yang dulu hanya mendengar cerita teman-teman yang kosnya pada kebanjiran sampai susah untuk mandi,dsb, kini aku tlah merasakan sendiri. Pertama kali aku memang jijik dengan tempat yang tergenang olehnya, bahkan jalan di tengah-tengah rob pun tak mau. Kini, aku seperti sudah akrab dengan kondisi seperti itu. Aku memang ga’ mau ngerasa akan selamanya jijik terus (red: kemayu) dengan rob, aku pun berusaha untuk menghilangkan rasa itu dalam diriku agar aku bisa menaklukkannya.
Sepertinya rob atau fenomena alam lain berpengaruh positif terhadap sikap masyarakat sekitar. Itulah yang kuamati dari kacamata penglihatanku. Agar alam bersahabat dengan kita, mari kita tetap menjaga sikap kita sesuai dengan adat timur yang masih bisa dikendalikan dan mau bersahabat dengan alam.

Jumat, 13 April 2012

TEACHER - STUDENT


“Bu Indaaah……”
ku dengar panggilan itu dari ex murid ku tiap kali menjemput ibuku di pasar seusai kerja mencari nafkah.

Panggilan murid-muridku itulah yang sering membuat rindu untuk mengajar lagi di salah satu TPQ dekat rumahku. Aku dulu sempat mengajar di lembaga pendidikan islam tersebut sambil menyusun skripsi. Mata kuliah memang sudah terambil semua, sehingga aku hanya konsentrasi pada skripsiku. Hal itu membuat k setiap hari di rumah melulu sampai rasa boring menghampiri dalam diriku.

Suatu malam ketika aku bersinggah di kediaman bulek, ada info kalau sekolah madrasah tersebut membutuhkan tenaga pengajar. “Aku mau jadi pengajar di TPQ tersebut”…… spontan mulut ini nyeletuk bilang seperti itu. Aku memang type orang yang tidak betah menganggur btanpa aktivitas apapun, walaupun sebenarnya kalau di rumah aktivitas banyak banget menggantikan posisi ibu ku yang menjadi ibu rumah tangga. Aku pun segera menemui kepala yayasan pendidikan tersebut untuk menyampaikan niat baik ku.

Subhanallah… beliau welcome dengan niatanku untuk menjadi salah satu guru di yayasan yang dipegang beliau. Dalam kesepakatan tersebut aku mengutarakan bahwa skripsiku takkan mengganggu walaupun masi dalam proses penyusunan.

Hari pertama aku ngajar sempat shock setelah sampai kelas. Aku memang sudah terbiasa ngajar di depan kelas karena sejak semester dua aku sudah menjadi tentor di salah bimbel dekat rumah, selain itu aku juga menjadi asisten dosen di kampus tempat aku menimba ilmu. Kalau biasanya aku mengajar anak SMP sampai mahasiswa, namun kali ini yang kuhadapi adalah anak-anak TK sampai SD kelas tiga. Aku didampingi oleh kepala sekolah madrasah di hari pertama aku mengajar. Di kelas aku bengong karena lafadz-lafadz yang diucapkan sangat asing bagiku dan aku pun tak tahu apa yang dibaca barusan. (maklum guru baru, belum mengetahui kurikulum yang dipakai) #ngeles banget. J

Hari-hari mengajar ku lalui dengan penuh semangat. Murid-muridku itulah yang maembuatku semangat mengajar. “Unyu-unyu” adalah kata yang selalu ada di pikiranku ketika melihat kelas. Anak didikku memang nggemesin, sampai aku cubit pipi salah satu dari mereka. Terkadang rasa canggung untuk ngobrol dengan sesama guru disana muncul di benakku karena aku adalah guru termuda dan ada beberapa yang dulu merupakan guruku TPQ, karena aku adalah alumni disana.

Setelah kurang lebih setengah tahun aku menjadi guru di tempat ku mengajar, aku dihadapkan pada dua pilihan karena aku bekerja di KAP. Syukur alhamdulilah tak henti-henti keluar dari mulut ini karena aku dapat bekerja di KAP. Waktu itu aku mendapat job ngaudit di salah satu instansi dan harus ke instansi tersebut senin-jum’at. Jam kerja juga menyesuaikan jam kerja klien, yakni sampai jam 16.00 WIB. Jarak rumahku sampai klien kurang lebih satu jam kalau naik motor. Itu artinya kalau aku pulang jam segitu, aku ga’ bisa ngajar. Akhirnya kuputuskan untuk resign dari tempatku mengajar karena aku mau totalitas dalam bekerja dan  ga’ mau mengorbankan salah satu. Sebenarnya sangat berat rassanya  untuk resign disana, aku uda nyaman dengan lingkungannya, apalagi murid-muridku yang masih unyu-unyu walaupun tak jarang buat kenakalan di kelas.



MADRASAH PERTAMA BAGI ANAK


Sungguh miris melihat fenomena peran orang tua zaman sekarang. Mereka mengaku sayang kepada anak-anaknya sebagai buah hati mereka, namun mereka tak sadar bahwa mereka telah menjauhkan sang pemberi hidup dari jiwa anak-anak mereka.
Ya, tiap hari mereka mengajari buah hati mereka untuk keperluan pendidikan duniawi (SD, SMP, dan SMA), bahkan mereka rela mengeluarkan uang yang tak sedikit jumlahnya untuk biaya les atau yang lain. Tak jarang, ketika jadwal sekolah madrasah pun yang hanya satu jam saja per hari, orang tua rela anak-anaknya tidak masuk sekolah madrasah dengan alasan les pelajaran sekolah, les sepak bola, les piano, dan lain-lain. Sungguh menyayat hati  melihat fenomena itu, apalagi kesibukan orang tua mencari nafkah dari pagi sampai sore bahkan tak jarang pula yang sampai rumah dimana  matahari sudah tertidur di ufuk barat sehingga tak sedikit orang tua yang mengambil keputusan agar anak les pelajaran sekolah di bimbel dekat rumah atau bimbel terkemuka karena tidak ada waktu untuk mengajari anak. Mereka berdalih “ aku kan kerja untuk anak, demi kelangsungan hidup mereka. Jadi sah-sah saja kalau anak saya suruh les ini itu dan sekolah madrasah  aku pulang kerja dan  malam baru sampai rumah sehingga tidak sempat mengajari anak”. Kapan waktu yang diberikan untuk anak-anaknya, bukankah orang tua wajib mengajarkan ilmu agama kepada anak, dan anak pun berhak menerima perhatian dan pengajaran baik ilmu dunia maupun akhirat?  Sekolah umum, kuliah, les pelajaran sekolah, les voli, les piano, les drum, les bahasa asing dan sebagainya memang penting karena itu dapat menggali potensi mereka sehingga bisa dijadikan bekal kelak ketika dewasa. Akan tetapi sadarkah orang tua zaman sekarang? Hal itu tidak diimbangi dengan pengetahuan agama. Ya…. mungkin bagi mereka yang menyekolahkan madrasah anaknya dimana satu hari hanya satu jam, itupun tak jarang seminggu tidak masuk beberapa kali dengan alasan les ini itu sedangkan di rumah orang tua tak cukup waktu hanya untuk sekedar mengajarkan ilmu agama.
            Tulisan diatas terinspirasi ketika mendengar salah satu pengakuan dari anak kecil yang belajar ngaji namun lebih dari seminggu dia tidak menunjukkan peningkatan mengajinya. Ternyata di rumah dia hanya diajarkan pendidikan duniawi saja, sedangkan ilmu agama jarang diajarkan.
            “Seorang Ibu adalah madrasah pertama bagi anak”
            Bagi kaum hawa yang akan menjadi calon istri dan calon ibu, apakah kalian rela jika anak-anak kita kelak ahli ilmu duniawi dan miskin ilmu akherat? Tentu saja tak ada yang rela dengan hal itu.